Kamis, 27 November 2014

HPP IK 2014

HUKUM DAN PERATURAN PERIKANAN
DISUSUN OLEH :
ALFIANSYAH (FPIK)









1.      POTENSI KELAUTAN
Kehidupan sekitar 28.000 spesies flora, 350 spesies fauna dan 110.000 spesies mikroba,
600 spesies terumbu karang dan 40 genera, jauh lebih kaya dibandingkan Laut Merah yang hanya memiliki sekitar 40 spesies dari 7 genera,
Sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable resources), termasuk ikan, udang, moluska, kerang mutiara, kepiting, rumput laut, mangrove/hutan bakau, hewan karang dan biota laut lainnya,

Sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui (non renewable resources), seperti minyak bumi, gas alam, bauksit, timah, bijih besi, mangan, fosfor dan mineral lainnya,
Energi kelautan seperti : Energi gelombang, pasang surut, angin, dan Ocean Thermal Energy Conversion,
Jasa lingkungan (environmental services) termasuk tempat-tempat yang cocok untuk lokasi pariwisata dan rekreasi seperti pantai yang indah, perairan berterumbu karang yang kaya ragam biota karang, media transportasi dan komunikasi, pengatur iklim dan penampung limbah,

Sudah terbangunnya titik-titik dasar di sepanjang pantai pada posisi terluar dari pulau-pulau terdepan sebagai titik-titik untuk menarik garis pangkal darimana pengukuran batas laut berpangkal.

Sudah terwujudnya beberapa kesepakatan/pejanjian batas laut yaitu : dengan India, Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina, Australia dan PNG.

2.      KENDALA KELAUTAN
Kehancuran sebagian terumbu karang yang memilili fungsi ekologi dan ekonomi yang hanya menyisakan sekitar 28%, rawa pantai dan hutan mangrove (bakau) yang merupakan habitat ikan dan penyekat abrasi laut, dari 4 (empat) jutaan hektar telah menyusut menjadi 2 (dua) jutaan hektar,
Pencurian ikan oleh orang asing menunjukkan kerugian sekitar 1/2 (setengah) milyar dollar sampai 4 (empat) milyar dollar per tahun,
Sumberdaya manusia (SDM) di bidang kelautan yang sangat minim baik di bidang perencanaan, pengelolaan, maupun hukum dan pengamanan kelautan,
Sebagian besar (85%) kapal-kapal yang beroperasi di perairan Indonesia menggunakan modal asing dan selebihnya adalah modal nasional.
Minimnya jumlah dan kualitas sarana dan prasarana (kapal, peralatan).
Pemanfaatan teknologi maju melalui pengamatan satelit dalam rangka pengawasan dan pengamanan laut (Waspam) masih sangat terbatas dan belum terintegrasi secara permanen,

Eksplorasi, eksploitasi dan pembangunan di sepanjang pantai dan perairan telah menyebabkan
pencemaran laut akibat pembuangan limbah dari proses kegiatan tersebut.
Maraknya kasus pembajakan laut khususnya di Selat Malaka dan alur lintas kepulauan Indonesia (ALKI) telah menimbulkan konflik yang mengundang intervensi negara maju (USA dan Jepang).

3.      FAKTOR-FAKTOR LAIN YANG BERPENGARUH.
Lepasnya P. Sipadan dan P. Ligitan dari klaim wilayah kita ke tangan Malaysia memberikan pelajaran berharga guna mewaspadai pulau-pulau kecil yang ada di zona perbatasan dan memberikan kesadaranbagi kita semua tentang pentingnya pembinaan atas pulau-pulau
 tersebut,
b. Kondisi faktual, banyak WNI penduduk wilayah perbatasan lebih banyak berhubungan dengan warga negara tetangga/asing yang lebih maju, mereka menggunakan uang asing, menonton TV asing, mendengarkan radio asing dan menggunakan bahasa. asing (bahasa negara tetangga). Contoh, penduduk P. Sebatik (Indonesia-Malaysia), Kep. Sangir & Talaud dan P. Miangas (Indonesia-Filipina). Dengan demikian secara tidak sengaja penduduk perbatasan sudah terbina dan terkooptasi oleh pengaruh negara tetangga, sementara itu pembinaan dari pemerintah terhadap mereka sangat minim,

c.  Adanya batas yang sangat panjang dan khususnya alur laut (ALKI) yang tidak dapat diawasi secara memadai karena keterbatasan aparat, sarana dan prasarana. Waspam laut banyak dimanfaatkan sebagai alur perlintasan kriminal seperti penyelundupan barang ilegal (illegal logging/ fishing/imigrants), pengungsi, trafficking dan akhir-akhir ini terorisme Internasional

d. Keadaan ekonomi negara dan rakyat (khususnya nelayan) yang masih sulit menyebabkan kepedulian dan kemampuan terhadap pengelolaan dan Waspam laut sangat rendah,

e.  Adanya pertentangan internal dalam negeri, antar kelompok etnis, agama, ras dan. golongan (SARA) atau pemerintahan daerah (Pemda) memberikan celah-celah bagi elemen asing yang bertujuan negatif dengan mengintervensi dan mengeksploitasi permasalahan tersebut.



4.      PERMASALAHAN BATAS LAUT
Batas Perairan Pedalaman (BPP). Perairan pedalaman di dalam garis batas yang ditentukan oleh hukum yang berlaku di situ praktis sama dengan di wilayah darat, dimana NKRI mempunyai kedaulatan penuh, kapal-kapal asing tidak berhak lewat. Perairan pedalaman tersebut dibatasi oleh garis penutup (closing lines) sesuai ketentuan Hukla 1982. Namun sayang Indonesia hingga saat ini belum memanfaatkan haknya untuk menarik closing lines tersebut.
Batas Perairan Nusantara/Kepulauan (BPN/BPK). Di perairan ini Indonesia mempunyai hak kedaulatan wilayah penuh tetapi kapal/pelayaran asing masih mempunyai “hak melintas” (innocent passage) melalui prinsip alur laut kepulauan. Perairan nusantara ini dikelilingi oleh garis-garis dasar yang lurus (base lines) yang menghubungkan titik-titik pangkal (base points) dan bagian terdepan pulau-pulau terdepan di seluruh Indonesia. Base lines yang menghubungkan base points dibuat berdasarkan UU Nomor 4 Tahun 1960 dan telah didepositkan di PBB. Undang-undang tersebut telah diperbaharui dengan UU Nomor 6 Tahun 1996 namun isinya justru mencabut base points dan base lines yang telah ada.
Batas Laut Wilayah (BLW). Batas laut ini ditarik dari base lines sejauh 12 mil, tetapi BLW yang pasti/tegas juga belum ada, karena BLW tidak dapat ditentukan sepihak. Pada laut wilayah, Indonesia masih mempunyai hak mengelola dan yurisdiksi kedaulatan wilayah penuh.
Batas Perairan Zona Tambahan (BPZT). Garis BPZT ini ditarik 12 mil dari garis BLW. Karena BLW nya belum pasti, maka BPZT nya juga belum dibuat.
Batas Zona Ekonomi Eksklusif (BZEE). Garis BZEE ditarik sejauh/selebar 200 mil dari base lines. Di perairan ZEE ini, Indonesia mempunyai hak berdaulat atas kekayaan alam di situ dan kewenangan melindungi lingkungan, mengatur penelitian ilmiah maritim dan pemberian ijin kepada pihak asing yang akan melakukan penelitian ilmiah dan atau mendirikan bangunan (instalasi, pulau buatan). BZEE juga belum memiliki keabsahan/pengakuan yang pasti.

5.      ILLEGAL FISHING
Illegal fishing, adalah kegiatan penangkapan ikan secara ilegal di perairan wilayah atau Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) suatu Negara.
Keterlibatan pihak asing dalam pencurian ikan dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:
Pencurian semi-legal, yaitu pencurian ikan yang dilakukan oleh kapal asing dengan memanfaatkan surat izin penangkapan legal yang dimiliki oleh pengusaha lokal, dengan menggunakan kapal berbendera lokal atau bendera negara lain.
Pencurian murni ilegal, yaitu proses penangkapan ikan di mana kapal asing menggunakan benderanya sendiri untuk menangkap ikan di wilayah negara lain.
1.Unregulated-fishing
2. Unreported
- fishing

6.      SITUASI PERIKANAN NASIONAL
Publikasi FAO tahun 2007 menggambarkan bahwa kondisi sumberdaya ikan di sekitar perairan Indonesia, terutama di sekitar perairan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik sudah menujukan kondisi  full exploited. Bahkan di perairan Samudera Hindia kondisinya cenderung mengarah kepada overexploited.
1.Produksi Perikanan Nasional
Pertumbuhan produksi rata-rata perikanan tangkap dalam periode tahun 1994-2004 mencapai 3,84 persen per tahun. Sedangkan produksi perikanan tangkap pada tahun 2004 mencapai 4.311.564 ton. Apabila pemerintah menargetkan pertumbuhan produksi perikanan tangkap tetap sebesar 3,84 persen per tahun, maka produksi perikanan tangkap nasional tahun 2009 akan mengalami full exploitation diseluruh perairan Indonesia.
2. Konsumsi Ikan Nasional
Tingkat konsumsi ikan masyarakat Indonesia setiap tahunnya terlihat mengalami peningkatan. Secara nasional tingkat konsumsi ikan nasional pada tahun 2002 baru mencapai sekitar 21 kg/kapita/tahun. Namun demikian tingkat konsumsi ikan nasional tersebut terlihat masih di atas rata-rata tingkat konsumsi ikan dunia yang baru mencapai sekitar 16 kg/kapita/tahun. Sementara itu jika dilihat dari perkembangan tingkat konsumsi ikan nasional berdasarkan jenis ikan yang dikonsumsi masyarakat, terlihat bahwa sekitar 65,98 persen dari total konsumsi ikan nasional tahun 2002 didominasi oleh 18 jenis ikan. Yaitu ekor kuning, tuna, tenggiri, selar, kembung, teri, banding, gabus, kakap, mujair, mas, lele, baronang, udang segar, cumi-cumi segar, kepiting, kalong dan udang olahan.
7.      PRAKTEK PERIKANAN ILEGAL
Sampai saat ini, belum ada perhitungan pasti jumlah ikan yang terangkut dari perairan Indonesia secara illegal setiap tahunnya. FAO (2001) memperkirakan kerugian Indonesia dari perikanan ilegal tersebut mencapai sekitar US$ 4 milyar. akibat aktivitas perikanan ilegal, negara dirugikan Rp 30 triliyun setiap tahunnya. Perkembangan harga ikan rata-rata setiap tahunnya berkisar antara US$ 1.000 sampai US$ 2.000 per ton ikan. Dengan asumsi harga ikan rata-rata sebesar US$ 1.000 per ton.
Hingga kini pemberantasan praktek perikanan illegal belum juga menunjukkan tanda-tanda yang menggembirakan, bahkan semakin memprihatinkan. Salah satu buktinya, Maret 2006 lalu hasil verifikasi Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap DKP menunjukkan 94 persen tanda peralihan kepemilikan kapal (deletion certificate)  yang berhasil diklarifikasi adalah palsu. Lebih buruk lagi, pada semester pertama 2007 (Januari – Juni), puluhan kapal dari berbagai negara telah ditemukan kembali melakukan praktek pencurian ikan di perairan Indonesia. Praktek perikanan ilegal di Indonesia yang diungkap oleh media massa antara tahun 2002 hingga 2007, menunjukkan semakin beragam dan semakin luas wilayah Indonesia yang “disantroni” oleh kegiatan perikanan ilegal.

8.      MODUS OPERANDI
1. Modus Untuk Mengelabui
Modus yang sering dilakukan adalah penggandaan izin, penggunaan bendera Indonesia, mempekerjakan nelayan Indonesia, atau penggunaan nama kapal berbahasa Indonesia.
Modus penggandaan izin penangkapan ikan dilakukan di berbagai perairan dan biasanya dilakukan oleh kapal dari Thailand (Antara, tanpa tanggal). Modus penggandaan izin penangkapan ikan kerap dilakukan di Perairan Arafura.
Jika rata-rata setiap perusahaan memiliki minimal 5 izin penangkapan ikan, berarti terdapat sekitar 50 kapal yang melakukan operasi penangkapan ikan. Jika setiap bulan setiap kapal menangkap rata-rata sekitar 2.100 ton, maka untuk 50 kapal mencapai 105.000 ton. Dengan asumsi harga ikan mencapai US$ 13 per kg, maka kerugian negara dari hasil tangkapan ilegal dengan modus ini bisa mencapai US$ 1,365 milyar.
Modus lainnya adalah menggunakan bendera Indonesia dan mempekerjakan nelayan dari Indonesia. Padahal kapal tersebut dimiliki oleh cukong Malaysia dan ikan dijual di Tawau, Malaysia. Modus yang serupa juga dilakukan dengan menggunakan bendera dan nama kapal berbahasa Indonesia.
Untuk modus mengelabui dengan menggunakan alat tangkap yang dilarang seperti bom ikan (blast fishing) dilakukan dengan modus tersendiri.
2. Waktu Tertentu
Terutama pada saat musim barat. Kapal ilegal biasanya menggunakan kapal berbobot 30 GT yang mampu memecah gelombang setinggi 2 meter. Sedangkan kapal patroli biasa akan mengalami kesulitan mengejar kapal pencuri ikan di saat musim barat.
3. Penyebaran Lokasi
Namun ketika tertangkap oleh aparat, kapal ilegal tersebut berdalih bahwa tidak sengaja melanggar batas teritori Indonesia untuk mengejar ikan karena tidak memiliki radar dan hanya menggunakan kompas. Hal ini biasanya menjadi dalih kapal negara-negara tetangga Indonesia, seperti Thailand yang tertangkap oleh patrol.
Modus lain juga dilakukan melalui kerjasama dengan beberapa kapal ikan ilegal. Di tengah laut, kapal tersebar dengan jarak antara 5-7 mil, sehingga menyulitkan kepolisian untuk menangkap. Kapal-kapal ilegal tersebut
melakukan  transhipment di tengah laut dan memiliki jaringan dengan kapal khusus pengumpul ikan, untuk selanjutnya dibawa ke Thailand.
4. Kerjasama dengan Aparat
Kejahatan dalam pencurian ikan sudah merupakan sindikat yang sangat kuat. Keterlibatan sejumlah oknum aparat sangatlah kuat karena jutaan ton ikan setiap tahunnya dicuri dari perairan Indonesia, yang dilakukan oleh sekitar 3.000-5.000 kapal nelayan asing dengan memakai bendera Indonesia.
9.      DAMPAK PERIKANAN ILEGAL
Pertama, perikanan ilegal di perairan Indonesia akan mengancam kelestarian stok ikan nasional bahkan dunia. Praktek perikanan yang tidak dilaporkan atau laporannya salah  (misreported), atau laporannya di bawah standar (under reported), dan praktek perikanan yang tidak diatur (unregulated) akan menimbulkan masalah akurasi data tentang stok ikan yang tersedia. Jika data stok ikan tidak akurat, hampir dipastikan pengelolaan perikanan tidak akan tepat dan akan mengancam kelestarian stok ikan nasional dan global.
Kedua, perikanan ilegal di perairan Indonesia akan mengurangi kontribusi perikanan tangkap di wilayah ZEEI atau laut lepas kepada ekonomi nasional (PDB). Disamping juga mendorong hilangnya rente sumberdaya perikanan yang seharusnya dinikmati oleh Indonesia. Pemerintah mengklaim bahwa kerugian dari praktek perikanan ilegal mencapai US$ 4 milyar per tahun. Jika diasumsikan harga ikan ilegal berkisar antara US$ 1.000-2.000 per ton maka setiap tahunnya Indonesia kehilangan sekitar 2-4 juta ton ikan. Perhitungan lain menyebutkan, bahwa total kerugian negara akibat perikanan ilegal mencapai US$ 1,924 miliar per tahun. Angka ini terdiri dari pelanggaran daerah operasi sebesar US$ 537,75 juta; dokumen palsu US$ 142,5 juta kapal tanpa dokumen atau liar US$ 1,2 juta dan penggunaan ABK asing US$ 780 juta.
Ketiga, perikanan ilegal mendorong ke arah penurunan tenaga kerja pada sektor perikanan nasional, seperti usaha pengumpulan dan pengolahan ikan. Apabila hal ini tidak secepatnya diselesaikan maka akan mengurangi peluang generasi muda nelayan untuk mengambil bagian dalam usaha penangkapan ikan.
Keempat, perikanan ilegal akan mengurangi peran tempat pendaratan ikan nasional (pelabuhan perikanan nasional) dan penerimaan uang pandu pelabuhan. Karena kapal penangkapan ikan ilegal umumnya tidak mendaratkan ikan hasil tangkapannya di pelabuhan perikanan nasional. Hal ini akan berdampak secara nyata terhadap berkurangnya pendapatan nasional dari sektor perikanan.
Kelima, perikanan ilegal akan mengurangi pendapatan dari jasa dan pajak dari operasi yang sah. Perikanan ilegal akan mengurangi sumberdaya perikanan, yang pada gilirannya akan mengurangi pendapatan dari perusahaan yang memiliki izin penangkapan yang sah.
Keenam, baik secara langsung maupun tidak langsung, multiplier effects dari perikanan ilegal memilikib hubungan dengan penangkapan ikan nasional. Karena aktivitas penangkapan ikan nasional akan otomotis berkurang sejalan dengan hilangnya potensi sumberdaya ikan akibat aktivitas perikanan ilegal.
Ketujuh, perikanan ilegal akan berdampak pada kerusakan ekosistem, akibat hilangnya nilai dari kawasan pantai,
Kedelapan, perikanan ilegal akan meningkatkan konflik dengan armada nelayan tradisional. Maraknya perikanan ilegal mengganggu keamanan nelayan Indonesia khususnya nelayan tradisional dalam menangkap ikan di perairan Indonesia. Nelayan asing selain melakukan penangkapan secara ilegal, mereka juga sering menembaki nelayan tradisional yang sedang melakukan penangkapan ikan di daerah penangkapan (fishing ground) yang sama. Selain itu perikanan illegal juga akan mendorong ke arah pengurangan pendapatan rumah tangga nelayan dan selanjutnya akan memperburuk situasi kemiskinan.
Kesembilan, perikanan ilegal berdampak negatif pada stok ikan dan ketersediaan ikan, yang merupakan sumber protein penting bagi Indonesia. Pengurangan ketersediaan ikan pada pasar lokal akan mengurangi ketersediaan protein dan keamanan makanan nasional. Hal ini akan meningkatkan risiko kekurangan gizi dalam masyarakat, dan berdampak pada rencana pemerintah untuk meningkatkan nilai konsumsi ikan.
Kesepuluh, perikanan ilegal akan berdampak negative pada isu kesetaraan gender dalam penangkapan ikan dan pengolahan serta pemasaran hasil penangkapan ikan. Fakta di beberapa daerah menunjukkan bahwa istri nelayan memiliki peranan penting dalam aktivitasb penangkapan ikan di pantai dan pengolahan hasil tangkapan, termasuk untuk urusan pemasaran hasil perikanan.