HUKUM DAN PERATURAN PERIKANAN
DISUSUN OLEH :
ALFIANSYAH (FPIK)
1.
POTENSI KELAUTAN
Kehidupan sekitar 28.000 spesies flora, 350 spesies
fauna dan 110.000 spesies mikroba,
600 spesies terumbu karang dan 40 genera, jauh lebih kaya dibandingkan Laut Merah yang hanya memiliki sekitar 40 spesies dari 7 genera,
600 spesies terumbu karang dan 40 genera, jauh lebih kaya dibandingkan Laut Merah yang hanya memiliki sekitar 40 spesies dari 7 genera,
Sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable
resources), termasuk ikan, udang, moluska, kerang mutiara, kepiting, rumput
laut, mangrove/hutan bakau, hewan karang dan biota laut lainnya,
Sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui (non renewable resources), seperti minyak bumi, gas alam, bauksit, timah, bijih besi, mangan, fosfor dan mineral lainnya,
Energi kelautan seperti : Energi gelombang, pasang surut, angin, dan Ocean Thermal Energy Conversion,
Jasa lingkungan (environmental services) termasuk tempat-tempat yang cocok untuk lokasi pariwisata dan rekreasi seperti pantai yang indah, perairan berterumbu karang yang kaya ragam biota karang, media transportasi dan komunikasi, pengatur iklim dan penampung limbah,
Sudah terbangunnya titik-titik dasar di sepanjang pantai pada posisi terluar dari pulau-pulau terdepan sebagai titik-titik untuk menarik garis pangkal darimana pengukuran batas laut berpangkal.
Sudah terwujudnya beberapa kesepakatan/pejanjian batas laut yaitu : dengan India, Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina, Australia dan PNG.
Sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui (non renewable resources), seperti minyak bumi, gas alam, bauksit, timah, bijih besi, mangan, fosfor dan mineral lainnya,
Energi kelautan seperti : Energi gelombang, pasang surut, angin, dan Ocean Thermal Energy Conversion,
Jasa lingkungan (environmental services) termasuk tempat-tempat yang cocok untuk lokasi pariwisata dan rekreasi seperti pantai yang indah, perairan berterumbu karang yang kaya ragam biota karang, media transportasi dan komunikasi, pengatur iklim dan penampung limbah,
Sudah terbangunnya titik-titik dasar di sepanjang pantai pada posisi terluar dari pulau-pulau terdepan sebagai titik-titik untuk menarik garis pangkal darimana pengukuran batas laut berpangkal.
Sudah terwujudnya beberapa kesepakatan/pejanjian batas laut yaitu : dengan India, Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina, Australia dan PNG.
2.
KENDALA KELAUTAN
Kehancuran sebagian terumbu karang yang memilili
fungsi ekologi dan ekonomi yang hanya menyisakan sekitar 28%, rawa pantai dan
hutan mangrove (bakau) yang merupakan habitat ikan dan penyekat abrasi laut,
dari 4 (empat) jutaan hektar telah menyusut menjadi 2 (dua) jutaan hektar,
Pencurian ikan oleh orang asing menunjukkan kerugian
sekitar 1/2 (setengah) milyar dollar sampai 4 (empat) milyar dollar per tahun,
Sumberdaya manusia (SDM) di bidang kelautan yang
sangat minim baik di bidang perencanaan, pengelolaan, maupun hukum dan
pengamanan kelautan,
Sebagian besar (85%) kapal-kapal yang beroperasi di
perairan Indonesia menggunakan modal asing dan selebihnya adalah modal
nasional.
Minimnya jumlah dan kualitas sarana dan prasarana
(kapal, peralatan).
Pemanfaatan teknologi maju melalui pengamatan satelit
dalam rangka pengawasan dan pengamanan laut (Waspam) masih sangat terbatas dan
belum terintegrasi secara permanen,
Eksplorasi, eksploitasi dan pembangunan di sepanjang pantai dan perairan telah menyebabkan
Eksplorasi, eksploitasi dan pembangunan di sepanjang pantai dan perairan telah menyebabkan
pencemaran laut akibat pembuangan limbah dari proses
kegiatan tersebut.
Maraknya kasus pembajakan laut khususnya di Selat
Malaka dan alur lintas kepulauan Indonesia (ALKI) telah menimbulkan konflik
yang mengundang intervensi negara maju (USA dan Jepang).
3.
FAKTOR-FAKTOR LAIN YANG BERPENGARUH.
Lepasnya P. Sipadan dan P. Ligitan dari klaim wilayah
kita ke tangan Malaysia memberikan pelajaran berharga guna mewaspadai
pulau-pulau kecil yang ada di zona perbatasan dan memberikan kesadaranbagi kita
semua tentang pentingnya pembinaan atas pulau-pulau
tersebut,
b. Kondisi faktual, banyak WNI penduduk wilayah perbatasan lebih banyak berhubungan dengan warga negara tetangga/asing yang lebih maju, mereka menggunakan uang asing, menonton TV asing, mendengarkan radio asing dan menggunakan bahasa. asing (bahasa negara tetangga). Contoh, penduduk P. Sebatik (Indonesia-Malaysia), Kep. Sangir & Talaud dan P. Miangas (Indonesia-Filipina). Dengan demikian secara tidak sengaja penduduk perbatasan sudah terbina dan terkooptasi oleh pengaruh negara tetangga, sementara itu pembinaan dari pemerintah terhadap mereka sangat minim,
tersebut,
b. Kondisi faktual, banyak WNI penduduk wilayah perbatasan lebih banyak berhubungan dengan warga negara tetangga/asing yang lebih maju, mereka menggunakan uang asing, menonton TV asing, mendengarkan radio asing dan menggunakan bahasa. asing (bahasa negara tetangga). Contoh, penduduk P. Sebatik (Indonesia-Malaysia), Kep. Sangir & Talaud dan P. Miangas (Indonesia-Filipina). Dengan demikian secara tidak sengaja penduduk perbatasan sudah terbina dan terkooptasi oleh pengaruh negara tetangga, sementara itu pembinaan dari pemerintah terhadap mereka sangat minim,
c. Adanya batas yang sangat panjang dan khususnya alur laut (ALKI) yang tidak dapat diawasi secara memadai karena keterbatasan aparat, sarana dan prasarana. Waspam laut banyak dimanfaatkan sebagai alur perlintasan kriminal seperti penyelundupan barang ilegal (illegal logging/ fishing/imigrants), pengungsi, trafficking dan akhir-akhir ini terorisme Internasional
d. Keadaan ekonomi negara dan rakyat (khususnya nelayan) yang masih sulit menyebabkan kepedulian dan kemampuan terhadap pengelolaan dan Waspam laut sangat rendah,
e. Adanya pertentangan internal dalam negeri, antar kelompok etnis, agama, ras dan. golongan (SARA) atau pemerintahan daerah (Pemda) memberikan celah-celah bagi elemen asing yang bertujuan negatif dengan mengintervensi dan mengeksploitasi permasalahan tersebut.
4.
PERMASALAHAN
BATAS LAUT
Batas Perairan Pedalaman (BPP). Perairan pedalaman di
dalam garis batas yang ditentukan oleh hukum yang berlaku di situ praktis sama
dengan di wilayah darat, dimana NKRI mempunyai kedaulatan penuh, kapal-kapal
asing tidak berhak lewat. Perairan pedalaman tersebut dibatasi oleh garis
penutup (closing lines) sesuai ketentuan Hukla 1982. Namun sayang Indonesia
hingga saat ini belum memanfaatkan haknya untuk menarik closing lines tersebut.
Batas Perairan Nusantara/Kepulauan (BPN/BPK). Di
perairan ini Indonesia mempunyai hak kedaulatan wilayah penuh tetapi kapal/pelayaran
asing masih mempunyai “hak melintas” (innocent passage) melalui prinsip alur
laut kepulauan. Perairan nusantara ini dikelilingi oleh garis-garis dasar yang
lurus (base lines) yang menghubungkan titik-titik pangkal (base points) dan
bagian terdepan pulau-pulau terdepan di seluruh Indonesia. Base lines yang
menghubungkan base points dibuat berdasarkan UU Nomor 4 Tahun 1960 dan telah
didepositkan di PBB. Undang-undang tersebut telah diperbaharui dengan UU Nomor
6 Tahun 1996 namun isinya justru mencabut base points dan base lines yang telah
ada.
Batas Laut Wilayah (BLW). Batas laut ini ditarik dari
base lines sejauh 12 mil, tetapi BLW yang pasti/tegas juga belum ada, karena
BLW tidak dapat ditentukan sepihak. Pada laut wilayah, Indonesia masih mempunyai
hak mengelola dan yurisdiksi kedaulatan wilayah penuh.
Batas Perairan Zona Tambahan (BPZT). Garis BPZT ini ditarik 12 mil dari garis BLW. Karena BLW nya belum pasti, maka BPZT nya juga belum dibuat.
Batas Perairan Zona Tambahan (BPZT). Garis BPZT ini ditarik 12 mil dari garis BLW. Karena BLW nya belum pasti, maka BPZT nya juga belum dibuat.
Batas Zona Ekonomi Eksklusif (BZEE). Garis BZEE
ditarik sejauh/selebar 200 mil dari base lines. Di perairan ZEE ini, Indonesia
mempunyai hak berdaulat atas kekayaan alam di situ dan kewenangan melindungi
lingkungan, mengatur penelitian ilmiah maritim dan pemberian ijin kepada pihak
asing yang akan melakukan penelitian ilmiah dan atau mendirikan bangunan
(instalasi, pulau buatan). BZEE juga belum memiliki keabsahan/pengakuan yang
pasti.
5.
ILLEGAL
FISHING
Illegal fishing, adalah kegiatan penangkapan ikan
secara ilegal di perairan wilayah atau Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) suatu
Negara.
Keterlibatan pihak asing dalam pencurian ikan dapat digolongkan
menjadi dua, yaitu:
Pencurian semi-legal, yaitu pencurian ikan yang dilakukan oleh kapal asing dengan memanfaatkan surat izin penangkapan legal yang dimiliki oleh pengusaha lokal, dengan menggunakan kapal berbendera lokal atau bendera negara lain.
Pencurian semi-legal, yaitu pencurian ikan yang dilakukan oleh kapal asing dengan memanfaatkan surat izin penangkapan legal yang dimiliki oleh pengusaha lokal, dengan menggunakan kapal berbendera lokal atau bendera negara lain.
Pencurian murni ilegal, yaitu proses penangkapan ikan
di mana kapal asing menggunakan benderanya sendiri untuk menangkap ikan di
wilayah negara lain.
1.Unregulated-fishing
2. Unreported- fishing
2. Unreported- fishing
6. SITUASI PERIKANAN NASIONAL
Publikasi FAO tahun 2007 menggambarkan bahwa kondisi
sumberdaya ikan di sekitar perairan Indonesia, terutama di sekitar perairan
Samudera Hindia dan Samudera Pasifik sudah menujukan kondisi full exploited.
Bahkan di perairan Samudera Hindia kondisinya cenderung mengarah kepada
overexploited.
1.Produksi Perikanan Nasional
Pertumbuhan produksi rata-rata perikanan tangkap dalam
periode tahun 1994-2004 mencapai 3,84 persen per tahun. Sedangkan produksi
perikanan tangkap pada tahun 2004 mencapai 4.311.564 ton. Apabila pemerintah
menargetkan pertumbuhan produksi perikanan tangkap tetap sebesar 3,84 persen
per tahun, maka produksi perikanan tangkap nasional tahun 2009 akan mengalami
full exploitation diseluruh perairan Indonesia.
2. Konsumsi Ikan Nasional
Tingkat konsumsi ikan masyarakat Indonesia setiap
tahunnya terlihat mengalami peningkatan. Secara nasional tingkat konsumsi ikan
nasional pada tahun 2002 baru mencapai sekitar 21 kg/kapita/tahun. Namun
demikian tingkat konsumsi ikan nasional tersebut terlihat masih di atas
rata-rata tingkat konsumsi ikan dunia yang baru mencapai sekitar 16
kg/kapita/tahun. Sementara itu jika dilihat dari perkembangan tingkat konsumsi
ikan nasional berdasarkan jenis ikan yang dikonsumsi masyarakat, terlihat bahwa
sekitar 65,98 persen dari total konsumsi ikan nasional tahun 2002 didominasi
oleh 18 jenis ikan. Yaitu ekor kuning, tuna, tenggiri, selar, kembung, teri,
banding, gabus, kakap, mujair, mas, lele, baronang, udang segar, cumi-cumi
segar, kepiting, kalong dan udang olahan.
7.
PRAKTEK
PERIKANAN ILEGAL
Sampai saat ini, belum ada perhitungan pasti jumlah
ikan yang terangkut dari perairan Indonesia secara illegal setiap tahunnya. FAO
(2001) memperkirakan kerugian Indonesia dari perikanan ilegal tersebut mencapai
sekitar US$ 4 milyar. akibat aktivitas perikanan ilegal, negara dirugikan Rp 30
triliyun setiap tahunnya. Perkembangan harga ikan rata-rata setiap tahunnya
berkisar antara US$ 1.000 sampai US$ 2.000 per ton ikan. Dengan asumsi harga
ikan rata-rata sebesar US$ 1.000 per ton.
Hingga kini pemberantasan praktek perikanan illegal
belum juga menunjukkan tanda-tanda yang menggembirakan, bahkan semakin
memprihatinkan. Salah satu buktinya, Maret 2006 lalu hasil verifikasi
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap DKP menunjukkan 94 persen tanda peralihan
kepemilikan kapal (deletion certificate) yang berhasil diklarifikasi
adalah palsu. Lebih buruk lagi, pada semester pertama 2007 (Januari – Juni),
puluhan kapal dari berbagai negara telah ditemukan kembali melakukan praktek
pencurian ikan di perairan Indonesia. Praktek perikanan ilegal di Indonesia
yang diungkap oleh media massa antara tahun 2002 hingga 2007, menunjukkan
semakin beragam dan semakin luas wilayah Indonesia yang “disantroni” oleh
kegiatan perikanan ilegal.
8. MODUS OPERANDI
1. Modus Untuk Mengelabui
Modus yang sering dilakukan adalah penggandaan izin,
penggunaan bendera Indonesia, mempekerjakan nelayan Indonesia, atau penggunaan
nama kapal berbahasa Indonesia.
Modus penggandaan izin penangkapan ikan dilakukan di
berbagai perairan dan biasanya dilakukan oleh kapal dari Thailand (Antara,
tanpa tanggal). Modus penggandaan izin penangkapan ikan kerap dilakukan di
Perairan Arafura.
Jika rata-rata setiap perusahaan memiliki minimal 5
izin penangkapan ikan, berarti terdapat sekitar 50 kapal yang melakukan operasi
penangkapan ikan. Jika setiap bulan setiap kapal menangkap rata-rata sekitar
2.100 ton, maka untuk 50 kapal mencapai 105.000 ton. Dengan asumsi harga ikan
mencapai US$ 13 per kg, maka kerugian negara dari hasil tangkapan ilegal dengan
modus ini bisa mencapai US$ 1,365 milyar.
Modus lainnya adalah menggunakan bendera Indonesia dan
mempekerjakan nelayan dari Indonesia. Padahal kapal tersebut dimiliki oleh
cukong Malaysia dan ikan dijual di Tawau, Malaysia. Modus yang serupa juga
dilakukan dengan menggunakan bendera dan nama kapal berbahasa Indonesia.
Untuk modus mengelabui dengan menggunakan alat tangkap
yang dilarang seperti bom ikan (blast fishing) dilakukan dengan modus
tersendiri.
2. Waktu Tertentu
Terutama pada saat musim barat. Kapal ilegal biasanya
menggunakan kapal berbobot 30 GT yang mampu memecah gelombang setinggi 2 meter.
Sedangkan kapal patroli biasa akan mengalami kesulitan mengejar kapal pencuri
ikan di saat musim barat.
3. Penyebaran Lokasi
Namun ketika tertangkap oleh aparat, kapal ilegal
tersebut berdalih bahwa tidak sengaja melanggar batas teritori Indonesia untuk
mengejar ikan karena tidak memiliki radar dan hanya menggunakan kompas. Hal ini
biasanya menjadi dalih kapal negara-negara tetangga Indonesia, seperti Thailand
yang tertangkap oleh patrol.
Modus lain juga dilakukan melalui kerjasama dengan
beberapa kapal ikan ilegal. Di tengah laut, kapal tersebar dengan jarak antara
5-7 mil, sehingga menyulitkan kepolisian untuk menangkap. Kapal-kapal ilegal
tersebut
melakukan transhipment di tengah laut dan
memiliki jaringan dengan kapal khusus pengumpul ikan, untuk selanjutnya dibawa
ke Thailand.
4. Kerjasama dengan Aparat
Kejahatan dalam pencurian ikan sudah merupakan
sindikat yang sangat kuat. Keterlibatan sejumlah oknum aparat sangatlah kuat
karena jutaan ton ikan setiap tahunnya dicuri dari perairan Indonesia, yang
dilakukan oleh sekitar 3.000-5.000 kapal nelayan asing dengan memakai bendera
Indonesia.
9. DAMPAK PERIKANAN ILEGAL
Pertama, perikanan ilegal di perairan Indonesia akan
mengancam kelestarian stok ikan nasional bahkan dunia. Praktek perikanan yang
tidak dilaporkan atau laporannya salah (misreported), atau laporannya di
bawah standar (under reported), dan praktek perikanan yang tidak diatur
(unregulated) akan menimbulkan masalah akurasi data tentang stok ikan yang
tersedia. Jika data stok ikan tidak akurat, hampir dipastikan pengelolaan
perikanan tidak akan tepat dan akan mengancam kelestarian stok ikan nasional
dan global.
Kedua, perikanan ilegal di perairan Indonesia akan mengurangi kontribusi
perikanan tangkap di wilayah ZEEI atau laut lepas kepada ekonomi nasional
(PDB). Disamping juga mendorong hilangnya rente sumberdaya perikanan yang
seharusnya dinikmati oleh Indonesia. Pemerintah mengklaim bahwa kerugian dari
praktek perikanan ilegal mencapai US$ 4 milyar per tahun. Jika diasumsikan
harga ikan ilegal berkisar antara US$ 1.000-2.000 per ton maka setiap tahunnya
Indonesia kehilangan sekitar 2-4 juta ton ikan. Perhitungan lain menyebutkan,
bahwa total kerugian negara akibat perikanan ilegal mencapai US$ 1,924 miliar
per tahun. Angka ini terdiri dari pelanggaran daerah operasi sebesar US$ 537,75
juta; dokumen palsu US$ 142,5 juta kapal tanpa dokumen atau liar US$ 1,2 juta
dan penggunaan ABK asing US$ 780 juta.
Ketiga, perikanan ilegal mendorong ke arah penurunan tenaga
kerja pada sektor perikanan nasional, seperti usaha pengumpulan dan pengolahan
ikan. Apabila hal ini tidak secepatnya diselesaikan maka akan mengurangi
peluang generasi muda nelayan untuk mengambil bagian dalam usaha penangkapan
ikan.
Keempat, perikanan ilegal akan mengurangi peran tempat
pendaratan ikan nasional (pelabuhan perikanan nasional) dan penerimaan uang
pandu pelabuhan. Karena kapal penangkapan ikan ilegal umumnya tidak mendaratkan
ikan hasil tangkapannya di pelabuhan perikanan nasional. Hal ini akan berdampak
secara nyata terhadap berkurangnya pendapatan nasional dari sektor perikanan.
Kelima, perikanan ilegal akan mengurangi pendapatan dari
jasa dan pajak dari operasi yang sah. Perikanan ilegal akan mengurangi
sumberdaya perikanan, yang pada gilirannya akan mengurangi pendapatan dari
perusahaan yang memiliki izin penangkapan yang sah.
Keenam, baik secara langsung maupun tidak langsung,
multiplier effects dari perikanan ilegal memilikib hubungan dengan penangkapan
ikan nasional. Karena aktivitas penangkapan ikan nasional akan otomotis
berkurang sejalan dengan hilangnya potensi sumberdaya ikan akibat aktivitas
perikanan ilegal.
Ketujuh, perikanan ilegal akan berdampak pada kerusakan
ekosistem, akibat hilangnya nilai dari kawasan pantai,
Kedelapan, perikanan ilegal akan meningkatkan konflik dengan
armada nelayan tradisional. Maraknya perikanan ilegal mengganggu keamanan
nelayan Indonesia khususnya nelayan tradisional dalam menangkap ikan di
perairan Indonesia. Nelayan asing selain melakukan penangkapan secara ilegal,
mereka juga sering menembaki nelayan tradisional yang sedang melakukan
penangkapan ikan di daerah penangkapan (fishing ground) yang sama. Selain itu
perikanan illegal juga akan mendorong ke arah pengurangan pendapatan rumah
tangga nelayan dan selanjutnya akan memperburuk situasi kemiskinan.
Kesembilan, perikanan ilegal berdampak negatif pada stok ikan
dan ketersediaan ikan, yang merupakan sumber protein penting bagi Indonesia.
Pengurangan ketersediaan ikan pada pasar lokal akan mengurangi ketersediaan
protein dan keamanan makanan nasional. Hal ini akan meningkatkan risiko
kekurangan gizi dalam masyarakat, dan berdampak pada rencana pemerintah untuk
meningkatkan nilai konsumsi ikan.
Kesepuluh, perikanan ilegal akan berdampak negative pada isu
kesetaraan gender dalam penangkapan ikan dan pengolahan serta pemasaran hasil
penangkapan ikan. Fakta di beberapa daerah menunjukkan bahwa istri nelayan
memiliki peranan penting dalam aktivitasb penangkapan ikan di pantai dan
pengolahan hasil tangkapan, termasuk untuk urusan pemasaran hasil perikanan.